I made this widget at MyFlashFetish.com.

1.16.2009

Memaknai Pujian


Pada suatu hari, seekor ular muda nan jelita mandi di tepi sebuah danau. Usai mandi, dia berbaring di sebuah karang yang hangat untuk mengeringkan tubuh dan mulai bersolek. Seekor lalat yang sedang terbang memandang ke bawah, melihat dan berkomentar, “Duhai, cemerlang benar sisik di tubuhmu diterpa sinar mentari. Engkau tampak begitu mengkilap dan bersih. Kau sungguh ular yang cantik.”

Ular tersebut, karena merasa malu dan jengah, dengan cepat menggeser tubuhnya untuk bersembunyi. Ketika dilihatnya tidak jauh dari situ ada sebuah gubuk, dia menghilang melewati rumput ilalang. Dia tidak sadar bahwa gubuk tersebut adalah rumah penyihir desa itu. Karena mereka merasa takut dengan kedatangan seekor ular, penyihir tersebut meraih genderangnya dan mulai menabuhnya bertalu-talu untuk menakuti ular pengacau jahat ini.

Sementara itu, seekor kura-kura sedang berlenggang menyeberangi lapangan dekat gubuk sang penyihir. Seekor gajah, yang melihat kelakuan tidak wajar dari makhluk yang biasanya diam ini, berdiri diatas punggung kura-kura. Kura-kura tersebut mengeluarkan api, dan api tersebut menyulut gubuk penyihir yang terbuat dari rumput kering. Asap hitam membubung di angkasa, menutupi desa tersebut hingga menjadi gelap. Namun dengan cepat turunlah hujan yang amat deras, yang hanya berlangsung sekejap, dan digantikan sinar matahari yang hangat dan kering. Ibu semut, yang melihat cuaca menjadi cerah sesudah diguyur hujan, merasa ini adalah kesempatan yang baik untuk mengeringkan telur-telurnya. Dia menebar telur-telurnya di bawah hangat mentari. Seekor trenggiling, begitu melihat ada kesempatan makan besar, melahap telur-telur tersebut.
Ibu semut memejahijaukan Trenggiling tersebut. Dalam upayanya mendapatkan ganti rugi di bawah hukum setempat, dia mendatangkan hakim hutan tersebut, Sang Raja Hujan, dan menjelaskan masalahnya. Singa, Sang Raja Hujan mengadakan sidang. Dia memanggil semua pihak yang terlibat.
Pertama-tama, dia bertanya pada Trenggiling. “Wahai, Trenggiling mengapa engkau memakan telur-telur Ibu Semut ini?”
“Begini,”jawab Trenggiling.”makanan saya ini semut, Yang mulia itulah peran saya, takdir saya. Saya Cuma melakukan apa yang sudah menjadi sifat saya. Alternatif apa lagi yang ada bagi saya ketika Ibu Semut menebarkan telur-telurnya yang menggiurkan di depan saya? Siapa yang tidak tergoda?”
Kemudian Singa berbalik kepada Ibu Semut, sambil berkata.”Ibu, mengapa Anda menebarkan telur ditempat yang begitu menggoda Trenggiling?”
“Saya tidak bermaksud menggoda Trenggiling, wahai Raja hutan. Anda tentu paham bahwa saya takkan begitu tega melakukan hal seperti itu terhadap telur-telur saya. Akan tetapi, apa lagi yang bias saya lakukan untuk merawat anak-anak saya?”jawab Ibu Semut.” “Mereka basah kuyup setelah hujan turun dengan derasnya. Mereka harus kering dan Matahari saat itu bersinar dengan hangatnya.”
Sambil menatap Matahari, Singa meneruskan penyelidikannya,”Hei Matahari, kenapa kamu bersinar?”
“Lha, saya harus bagaimana?” Tanya Matahari. “Itu sudah tugas saya, sebelumnya Hujan turun dan seperti sudah umumnya, Matahari harus mengikuti Hujan.”
“Jan, Hujan, kenapa kamu turun saat itu?” Tanya Singa dalam upayanya mencari kebenaran.
“Saya ini bisa apa, yang Mulia?” jawab Hujan. “Gubuk sang Penyihir terbakar, dan seluruh desa terancam binasa. Saya cuma ingin menolong.”
“Wahai Gubuk, kenapa kamu kok terbakar segala?”
“Saya tidak bias berbuat apa-apa begitu Kura-kura mengeluarkan api pada saya.” Jawab arang bekas Gubuk penyihir yang terbakar. “Saya terbuat dari rerumputan. Saya sudah berdiri di sana bertahun-tahun. Tubuh saya sangat kering dan saya tidak berdaya melakukan perlawanan.”
“Nah Kura-kura, mengapa engkau mengeluarkan api?”
“Hanya itu yang saya bisa, Tuan Hakim. Si Gajah ini berdiri di atas punggung saya. Dengan tubuhnya yang berat itu, nyawa saya terancam. Saya harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri.”
Singa mendongak memandang Gajah.”Coba katakan padaku, Jah, mengapa engkau menginjak Kura-kura?”
“Saya harus bagaimana lagi”Tanya Gajah. “Kura-kura ini menari seperti orang gila. Kelakuannya sungguh tidak pantas dan tidak cocok untuk seekor Kura-kura. Saya pikir dia sudah gila. Saya tidak bermaksud menyakitinya. Saya ingin menenangkan suasana hatinya yang kacau.”
Singa menoleh kembali kepada Kura-kura.”Apa yang menyebabkanmu menari bak orang kesurupan?”
Saya harus bagaimana lagi,”jawab Kura-kura. “Penyihir desa ini menabuh beduknya dengan irama yang indah. Saya tidak punya pilihan. Saya harus bergoyang.”
“Penyihir mengapa kamu menabuh bedukmu?”
Sang Penyihir menjawab. “Apa yang bisa saya lakukan ketika seekor ular masuk gubuk saya? Ular itu membuat saya takut. Ia berbahaya. Binatang melata adalah representasi kekuatan jahat dan alamat buruk. Saya harus mengusir kehadiran kekuatan jahatnya dari rumah saya”
“Ular”, Tanya Raja Hutan, yang dengan sabar menanyai begitu banyak saksi, ”mengapa engkau memasuki gubuk penyihir?”
“Apa yang bisa saya lakukan?” jawab Ular. “Lalat membuat saya malu dengan pujian yang dia lontarkan kepada saya. Bagaimana saya harus bersembunyi di suatu tempat, dan Gubug Penyihir adalah tempat terdekat.”
Akhirnya, Singa beralih ke Lalat.”Wahai, Lalat, mengapa engkau memuji Ular?”
Lalat tidak menjawab Raja Hutan, tetapi malah menengok kepada Ular dan bertanya, ”Apa? Tidak tahukah kamu bagaimana cara menerima pujian?”

Kisah yang Memberdayakan

1 komentar:

BLOG TIPS

Terimakasih atas kunjungannya pada BLOG yang
sederhana ini. BLOG gado-gado, yang mana isinya tambal sulam. kritik dan saran
dapat dialamatkan kepada kami,..


Counter Powered by  RedCounter